Saturday, 13 October 2012
Contoh Pelanggaran Kode Etik Akuntan
Beberapa
kasus yang hampir serupa juga terjadi di Indonesia, salah satunya
adalah laporan keuangan ganda Bank Lippo pada tahun 2002.Kasus Lippo
bermula dari adanya tiga versi laporan keuangan yang ditemukan oleh
Bapepam untuk periode 30 September 2002, yang masing-masing berbeda.
Laporan yang berbeda itu, pertama, yang diberikan kepada publik atau
diiklankan melalui media massa pada 28 November 2002. Kedua, laporan ke
BEJ pada 27 Desember 2002, dan ketiga, laporan yang disampaikan akuntan
publik, dalam hal ini kantor akuntan publik Prasetio, Sarwoko dan
Sandjaja dengan auditor Ruchjat Kosasih dan disampaikan kepada manajemen
Bank Lippo pada 6 Januari 2003. Dari ketiga versi laporan keuangan
tersebut yang benar-benar telah diaudit dan mencantumkan ”opini wajar
tanpa pengecualian” adalah laporan yang disampaikan pada 6 Januari 2003.
Dimana dalam laporan itu disampaikan adanya penurunan AYDA (agunan yang
diambil alih) sebesar Rp 1,42 triliun, total aktiva Rp 22,8 triliun,
rugi bersih sebesar Rp 1,273 triliun dan CAR sebesar 4,23 %. Untuk
laporan keuangan yang diiklankan pada 28 November 2002 ternyata terdapat
kelalaian manajemen dengan mencantumkan kata audit. Padahal laporan
tersebut belum diaudit, dimana angka yang tercatat pada saat diiklankan
adalah AYDA sebesar Rp 2,933 triliun, aktiva sebesar Rp 24,185 triliun,
laba bersih tercatat Rp 98,77 miliar, dan CAR 24,77 %. Karena itu
BAPEPAM menjatuhkan sanksi denda kepada jajaran direksi PT Bank Lippo
Tbk. sebesar Rp 2,5 miliar, karena pencantuman kata ”diaudit” dan ”opini
wajar tanpa pengecualian” di laporan keuangan 30 September 2002 yang
dipublikasikan pada 28 Nopember 2002, dan juga menjatuhkan sanksi denda
sebesar Rp 3,5 juta kepada Ruchjat Kosasih selaku partner kantor akuntan
publik (KAP) Prasetio, Sarwoko & Sandjaja karena keterlambatan
penyampaian informasi penting mengenai penurunan AYDA Bank Lippo selama
35 hari. Kasus-kasus skandal diatas menyebabkan profesi akuntan beberapa
tahun terakhir telah mengalami krisis kepercayaan. Hal itu mempertegas
perlunya kepekaan profesi akuntan terhadap etika. Jones, et al. (2003)
lebih memilih pendekatan individu terhadap kepedulian etika yang berbeda
dengan pendekatan aturan seperti yang berdasarkan pada Sarbanes Oxley
Act. Mastracchio (2005) menekankan bahwa kepedulian terhadap etika harus
diawali dari kurikulum akuntansi, jauh sebelum mahasiswa akuntansi
masuk di dunia profesi akuntansi. Dari kedua kasus di atas, dapat kita
tarik kesimpulan bahwa dalam profesi akuntan terdapat masalah yang cukup
pelik di mana di satu sisi para akuntan harus menunjukkan
independensinya sebagai auditor dengan menyampaikan hasil audit ke
masyarakat secara obyektif, tetapi di sisi lain mereka dipekerjakan dan
dibayar oleh perusahaan yang tentunya memiliki kepentingan tersendiri.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment